Daftar pengunjung terbaru

Saturday, June 6, 2020

>> KOLEKSI SENI BERHARGA FIGUR PELUKIS RADEN SALEH

Judul: Raden Saleh Sjarif Boestaman
Pelukis: Heno Airlangga
Ukuran: 101cm x 70cm
Media: Textured acrylic on canvas
Tahun: 2019


Informasi harga dan pembelian:
Email: henoairlangga@gmail.com
Telp-Whatsapp; 081 329 7 329 11

Biografi Raden Saleh Sjarief Boestaman
Raden Saleh lahir dengan nama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman di tahun 1807, tanggal lahir dan bulannya tidak diketahui. Lahir di Terboyo, dekat Semarang, Jawa Tengah dari Rahim  Mas Adjeng Zarip. Saat baru berusia sepuluh tahun, Raden Saleh diserahkan kepada pamannya yang menjabat sebagai Bupati Semarang, ketika Indonesia masih dikolonialisasi oleh Belanda (Hindia Belanda).

Raden Saleh sudah gemar menggambar dari sejak kecil. Bakatnya di bidang seni sudah mulai menonjol saat Saleh kecil bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School). Tak jarang di kala gurunya sedang mengajar, ia malah asyik menggambar. Meskipun begitu, sang guru tak pernah marah, karena kagum melihat hasil karya muridnya.

Selain memiliki kepekaan terhadap seni yang tinggi, Saleh juga dikenal sebagai sosok yang ramah, sopan dan mudah bergaul. Karena sifatnya yang hangat dan supel itulah, Saleh tidak menemui kesulitan saat harus menyesuaikan diri dalam lingkungan orang Belanda. Karena sifatnya itu pula ia mendapatkan kesempatan dari Prof. Caspar Reinwardt untuk menjadi calon pegawai di Lembaga Pusat Penelitian Pengetahuan dan Kesenian di Bogor.

Di lembaga tersebut Raden Saleh bertemu dengan seorang pelukis keturunan Belgia bernama A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa, untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.

Payen sebenarnya tidak terlalu menonjol di kalangan seniman lukis Belanda, namun peran mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini nyatanya sangat membantu Saleh mendalami teknik seni lukis Barat. Ia mengajarkan berbagai teknik lukis Barat, misalnya teknik melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak Saleh muda dalam perjalanan dinas keliling Jawa untuk mencari model dan pemandangan untuk dilukis.

Karena kemampuan Raden Saleh yang dinilai Payen semakin matang, Ia kemudian mengusulkan agar anak didiknya itu mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Belanda. Usulan itu kemudian mendapatkan dukungan yang positif dari G.A.G.Ph. van der Capellen, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1819 – 1826) itu melihat karya Raden Saleh.

Pada tahun 1829, hampir bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen memberangkatkan Saleh untuk belajar ke Belanda. Keberangkatannya bukan hanya untuk belajar seni lukis tapi mengemban tugas juga untuk mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge mengenai adat-istiadat Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu.

Di Belanda, Raden Saleh belajar di bawah bimbingan Cornelius Kruseman dan Andries Schelfhout. Semasa menimba ilmu di sana, kemampuan berkembang pesat. Kesempatan untuk bisa belajar di luar negeri benar-benar dimanfaatkan Raden Saleh. Dua tahun pertama ia memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu.

Sedangkan di bidang seni, selama lima tahun pertama ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout. Mereka berdua adalah seniman yang karyanya memenuhi standar mutu rasa seni orang Belanda pada saat itu.

Secara perlahan, namanya mulai dikenal, Raden Saleh bahkan menggelar pameran di Den Haag dan Amsterdam. Masyarakat Belanda sangat mengapresiasi karyanya. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda pribumi Hindia Belanda dapat menguasai teknik seni lukis Barat dengan baik.

Setelah studinya di Belanda selesai, Raden Saleh tidak langsung pulang ke Tanah Air, tapi justru mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama. Agar ia dapat mempelajari ilmu lain di luar melukis, yaitu ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat. Raja Willem I (1772-1843) dan pemerintah Hindia Belanda, mengabulkan permintaannya, dan menangguhkan kepulangannya ke Indonesia. Namun ia tidak mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda lagi.

Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849), Raden Saleh mendapat dukungan untuk meneruskan studinya. Ia dikirim ke Dresden, Jerman untuk menambah wawasannya. Ia tinggal selama lima tahun dengan status sebagai tamu kehormatan Kerajaan Jerman. Tahun 1843, Raden Saleh meneruskan petualangannya untuk menuntut ilmu ke Weimar. Setahun kemudian ia kembali ke Belanda dan menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.

Meski telah banyak menghasilkan banyak masterpiece, keingintahuannya pada seni belum juga terpuaskan. Raden Saleh terus menggali kemampuannya dengan mempelajari seni lukis dari negara Eropa lain di luar Belanda. Selama kurun waktu tahun 1844-1851, Saleh tinggal dan berkarya di Prancis. Disaat aliran romantisisme sedang berkembang di Eropa dari awal abad 19. Wawasan seninya bertambah dengan menghabiskan waktu disana. Ia sangat mengagumi karya pelukis Perancis yang dikenal sebagai tokoh romantisisme bernama Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863). Sejak itu, ciri aliran romantisisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh.

Sejak itu, Saleh mulai melukiskan pelbagai satwa liar yang dipertemukan dengan manusia. Seperti adegan-adegan perburuan hewan liar, yang merupakan salah satu ciri aliran romantisisme. Beberapa kritikus berpendapat bahwa melalui karyanya, ia menyindir hawa nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu banteng, rusa, singa, dan sebagainya. Saleh banyak mengembara ke banyak tempat untuk mencari sumber inspirasi yang ia cari.

Ketika berada di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang akhirnya turut mempengaruhi dirinya. Tahun 1846, dari Perancis, ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, pergi ke Aljazair dan tinggal selama beberapa bulan. Disitulah Raden Saleh mendapat inspirasi untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam ukuran-ukuran frame yang besar.

Walaupun sempat menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Meskipun mendapatkan pendidikan Barat, Raden Saleh tetap menjadi sosok yang menjunjung tinggi idealisme kebebasan dan kemerdekaan negara. Ia tetap menentang penindasan Belanda terhadap Nusantara. Pemikirannya itu digambarkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pemerintah kolonial Belanda.

Begitu pulang ke tanah kelahirannya, Raden Saleh ditunjuk menjadi konservator pada Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni. Di sela-sela kesibukannya, ia masih banyak menghasilkan karya berupa beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan lokal. Di saat karirnya semakin melambung, Raden Saleh harus menghadapi kenyataan pahit karena pernikahan pertamanya berakhir dengan perceraian. Namun ia kembali membangun rumah tangga dengan seorang gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.

Setelah pernikahannya yang kedua, Ia tinggal di Batavia (Jakarta) di kawasan Cikini. Ia menghibahkan sebagian dari halamannya yang luas untuk dijadikan kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sedangkan rumahnya yang megah menjadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta.

Sempat beredar cerita, kematian Raden Saleh akibat diracuni pembantunya yang sempat dituduh telah mencuri. Namun setelah dilakukan pemeriksaan oleh seorang dokter, diketahui bahwa aliran darahnya terhambat karena pengendapan yang terjadi di dekat jatungnya. Jenazahnya kemudian dikebumikan di TPU Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Dalam koran Javanese Bode, dilaporkan bahwa pemakaman Raden Saleh “dihadiri sejumlah tuan tanah dan pegawai Belanda, serta sejumlah murid penasaran dari sekolah terdekat.”

Pada tahun 1883, dalam rangka memperingati tiga tahun kepergiannya, lukisan-lukisannya dipamerkan di Amsterdam, di antaranya berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Radja Willem III dan Pangeran Van Saksen Coburg-Gotha.

0 comments: